Assalamu’alaikum warahmatullah hi wabarakatuh.
Konnichiwa, Minna!
Sabtu sore daripada nggak ngapa-ngapain mending nulis artikel lagi aja deh, pumpung semangat nulisnya lagi HOT banget! Hehehehe….. Langsung saja, cekidot, Gan!
I. APA ITU GHIBAH?
Ngemeng-ngemeng nyinggung judul artikel ini, Teman-teman semua sudah tahu kan apa itu ghibah? Eh? Belum tau?
Kalau aku nyebut nggosip gimana? Tuh kan, langsung nyambung! Wekekekeke….. Memang betul Kawan, ghibah ini bahasa kerennya -bisa kita sebut- ‘gossip’ atau ‘ngrasani’ dalam bahasa Jawa. Di kalangan masayarakat Indonesia, yang namanya ‘rasan-merasan’ sudah bukan hal yang asing lagi, malah menjadi suatu kebiasaan yang sangat lumrah dari jaman dulu. Apalagi jaman sekarang, sepertinya kebutuhan akan ‘gossip’ sudah tidak bisa dielakkan lagi. Lihat saja faktanya, berbagai stasiun televisi berlomba-lomba menayangkan acara gossip nyaris 3 x sehari! Nah lo… macam minum obat aja yak? Wehehehe….. Tapi apakah teman-teman sekalian sudah tahu apa hukumnya bergossip ria dalam Islam? Yukk…. Mari saya jelasin.
Kalau aku nyebut nggosip gimana? Tuh kan, langsung nyambung! Wekekekeke….. Memang betul Kawan, ghibah ini bahasa kerennya -bisa kita sebut- ‘gossip’ atau ‘ngrasani’ dalam bahasa Jawa. Di kalangan masayarakat Indonesia, yang namanya ‘rasan-merasan’ sudah bukan hal yang asing lagi, malah menjadi suatu kebiasaan yang sangat lumrah dari jaman dulu. Apalagi jaman sekarang, sepertinya kebutuhan akan ‘gossip’ sudah tidak bisa dielakkan lagi. Lihat saja faktanya, berbagai stasiun televisi berlomba-lomba menayangkan acara gossip nyaris 3 x sehari! Nah lo… macam minum obat aja yak? Wehehehe….. Tapi apakah teman-teman sekalian sudah tahu apa hukumnya bergossip ria dalam Islam? Yukk…. Mari saya jelasin.
Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah kalian tahu apa ghibah itu?”. Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasulnya lebih tahu”. Lalu dijelaskan oleh nabi, “Ghibah adalah menyebut sesuatu yang ada pada saudaramu, yang bisa membuat ia tidak suka”, seorang sahabat bertanya, “Bagaimana kalau yang aku sebut memang ada benar dalam saudaraku?”. Nabi menjawab, “Kalau memang ada, berarti kau telah menggunjingnya. Kalau tidak ada berarti kau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim)
Sudah jelas kan Kawan, apa itu ghibah? Nah, yang perlu ditambahkan di sini, ghibah tidak hanya dalam bentuk ucapan saja, tapi isyarat, tulisan, gerakan, dan semua perbuatan yang dapat diketahui maksudnya dengan tujuan untuk berghibah juga termasuk lho!
Ghibah di sini jelas sangat merugikan orang lain. Bisa menimbulkan percekcokan, kesalah-pahaman, dan masih banyak hal buruk lain yang aku rasa nggak perlu disebutin satu-satu karena teman-teman pasti bisa menyimpulkannya sendiri. Oleh karena itu, Islam sangat menentang dan melarang perbuatan ghibah ini. Bahkan Allah memberi perumpamaan kepada orang yang suka menggunjing dalam QS. Al Hujurat ayat 12 : “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah orang seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. Dalam hadist Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda, “Setiap muslim haram atas muslim lain dalam darah, harta, dan kehormatannya”. Diriwayatkan dari Jabir r.a dan Sa’id r.a, Nabi Muhammad saw bersabda, “Hindarilah oleh kalian perbuatan ghibah. Karena ghibah lebih besar dosanya daripada zina. Seseorang terkadang berzina kemudian bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala dan diterima taubatnya oleh Allah. Sedang orang yang berbuat ghibah, dia tidak akan diampuni sampai orang yang dia ghibah-i memaafkannya”.
Astaghfirullah hal’adzim…. Semoga kita senantiasa dilindungi oleh Allah dari perbuatan ghibah ya, Saudaraku.
So, gimana? Masih mau menggossip lagi? :D
Setiap dari kita pasti tidak suka bila keburukannya diceritakan kepada orang lain, apalagi tanpa ijin dan bermaksud untuk menjelek-jelekkan diri kita. Jadi, mari kita berlatih untuk tidak membicarakan kejelekan orang lain lagi dengan maksud mengunjingnya. Memang sulit kalau sudah menjadi kebiasaan apalagi bagi kaum hawa. Tapi insyaallah kalau kita mau berusaha, pasti bisa! ^_^
II. GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN
Eh, ternyata ada juga lho ghibah yang diperbolehkan. Yang pasti ghibah dalam hal ini ada batasan-batasannya dan nggak asal boleh aja. Mengenai macam dan jumlahnya, para ulama masih berbeda pendapat. Di antara ulama yang menjelaskan hal ini adalah Al Ghazali dalam magnomopus-nya, Ihya Ulumiddin, dan Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muslim. Berikut 6 (enam) bentuk ghibah yang diperbolehkan menurut Imam Nawawi, secara ringkasnya:
1. Jika seseorang merasa terzalimi. Boleh baginya mengadukan kezaliman yang dia terima, kepada aparat atau hakim, atau selainnya, yang sekiranya mempunyai wewenang atau kemampuan untuk mencegah orang yang menzaliminya itu.
2. Untuk meminta bantuan atau merubah kemungkaran, dan mengarahkan pelaku maksiat untuk kembali berbuat benar. Misalkan dengan mengatakan kepada orang yang dianggap mampu mencegah kemungkaran tersebut, “Seseorang melakukan perbuatan ini, tolong Anda cegah!”
3. Untuk meminta fatwa (nasihat). Misalnya dengan mengatakan, “Ayahku, atau saudaraku, menzalimi aku. Bagaimana caraku untuk terbebas dari perbuatannya yang zalim?” dan sebagainya. Hal ini diperbolehkan sesuai kebutuhan, berdasarkan hadist Hindun yang melaporkan suaminya kepada Nabi Muhammada shalallahu’alaihi wassalam dengan mengatakan, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang syahih (bakhil)”.
4. Untuk mengingatkan umat Islam dari perbuatan buruk. Di antara contoh kasusnya adalah jarh (menilai negatif) seorang periwayat hadist atau para saksi demi kebenaran dan tegaknya keadilan, dan sebagainya. Ini diperbolehkan sesuai ijma (konsesus) ulama. Bahkan hukumnya wajib, demi menjaga kebenaran syariat. Bukan dengan tujuan menghina atau melecehkan seseorang.
5. Seseorang melakukan kefasikan atau perbuatan bid’ah secara terang-terangan. Seperti minum-minuman keras atau melakukan perbuatan bathil yang bertentangan dengan syariat Islam secara terang-terangan. Dalam hal ini boleh menyebutkan kejelekannya berupa kefasikan atau kebathilan tertentu saja, bukan sifatnya yang lain, kecuali dengan sebab yang lain lagi.
6. “Mengenalkan” seseorang. Misalkan seseorang dikenal mempunyai julukan tertentu, seperti ‘pendek’, ‘si hitam’, ‘yang buta’, dan sebagainya. Boleh menyebut julukan itu demi mengenalkannya pada seseorang, bukan dengan tujuan mengejek atau mengurangi harga dirinya. Jika mungkin dikenalkan dengan sifat-sifat tersebut, maka lebih baik mengenalkannya dengan sifat yang lain itu. Wallahu’alam. [Syarh Shahih Muslim, Imam Abu Zakariyya bin Syaraf An Nawawi, jilid 6, hal. 110]
Jadi bisa ditarik kesimpulan, bahwa menyebutkan kekurangan dan kesalahan seseorang demi suatu kebaikan itu boleh, tapi harus benar-benar diniatkan untuk amar ma’ruf nahi munkar dan sama sekali tidak bertujuan untuk melecehkan atau menghina. Juga dengan catatan, bahwa yang disebutkan hanya kesalahan yang ingin diubah saja, bukan kekurangan yang lain.
III. PRINSIP-PRINSIP YANG HARUS DILAKUKAN DALAM ‘KEBOLEHAN GHIBAH’
Dalam kesopanan umum, sewajarnya tidak ada pengecualian. Namun kaidah fikih Islam menyatakan, “ad dlaruuratu tubiihu al mahdzuuraat” yang dapat diartikan bahwa kondisi darurat (dalam definisi dan batasan tertentu) bisa memperbolehkan hal-hal yang sebelumnya dilarang. Karena itulah terdapat pengecualian hukum dalam beberapa kasus syariat. Namun demikian, tetap perlu dicegah secara preventif, adanya ‘pasal-pasal karet syariat’ yang multitafsir, yang rentan dimanfaatkan dalam penerapan exception-exception (pengecualian hukum) tersebut. Karena itu, dalam penerapan pengecualian ghibah ini, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Ikhlas dalam niat, semata-mata karena ALLAH, bukan untuk mengejek, menghina atau melecehkan harga diri orang tersebut.
2. Semampunya untuk tidak menyebutkan nama (menyebut seseorang secara khusus).
3. Menyebutkan yang boleh saja, dan yang benar-benar ada dalam diri orang tersebut. Tidak ‘lepas diri’ untuk berbuat ghibah secara luas, hingga menceritakan kekurangan-kekurangan orang lain semau hatinya.
4. Merasa yakin bahwa dengan melakukan ghibah yang boleh itu, tidak akan terjadi dampak negative yang lebih parah.
(Hasha-id Al Alsun, Husen Al ‘Uwaisyah, hal. 74)
Sumber: Fikih Jurnalistik, Etika & Kebebasan Pers Menurut Islam, Bab Larangan dalam Pemberitaan, Faris Khoirul Anam, Pustaka Al Kautsar, 2009.
0 Response to "Pengertian dan Pengecualian dalam Ghibah"
Posting Komentar
Bang Alaf beli tawas, mohon maaf bila tak sempat balas :)